Confabulate

Dia memukul wajahku menggunakan pengusir lalat.

Sembari menangis tersedu-sedu, dia menelepon kakak lelakinya yang tinggal di dekat situ.

“Mau kamu apa sih? Diajak ketemuan selalu gak bisa, di sms pun selalu menghindar” ucapnya keras kepadaku.

Dia memukulku lagi. Kali ini di dada.

“Kan aku juga gak pergi lama-lama, kok kamunya malah gitu sih” dia menangis, suaranya tercekat.

Malam itu dia meninggalkanku sendirian di sebuah restoran, sesaat setelah kami terlibat pertengkaran yang bahkan aku sudah lupa asal muasalnya.

“Aku tuh kangen, gak ketemu kamu ternyata bisa semenyakitkan ini. Aku nekat kesini biar bisa  ketemu kamu. Tapi apa? Jauh-jauh kesini cuma liat kamu kayak gini?”

Dia memukulku lagi.

Di luar mulai gerimis.  Lampu jalanan  berpendar-pendar kekuningan. Hangat dan beruap.

Dia lucu sekali dengan kaos bergambar Daft Punk yangs selalu dia lipat di bagian lengannya. Dia bilang, lengan kaos ini terlalu panjang dan kurang nyaman namun memberinya kehangatan. Padahal menurutku, dia memang suka kaos itu.

Handphone nya kembali berdering. Ternyata dia kembali mengganti ringtonenya dengan musik favoritku ; All My Life dari The Beatles. Dia kembali berbicara sambil tersedu-sedan dan kemudian berbicara lagi sebelum menutup teleponnya (entah siapa yang dia telepon).

Dia kembali berbalik kearahku.

“Pergi! Pergi! Pergiii!!!! Pergi gak hah?!!!” teriaknya sambil menangis. Memukulku lagi, lagi dan lagi.

Gerimis telah berhenti.

Polisi datang. Membawaku dalam kantong jenazah.

Dia masih berteriak kearahku sambil berusaha mengusir lalat yang beterbangan.

All these places have their moments
With lovers and friends I still can recall
Some are dead and some are living
In my life…..
I’ve loved them all